If you get serious, you get stupid. Laughter is the close distance between two person.

Thursday, May 31, 2012

Tidak Ada yang Salah

Ceritanya;

Di pagi hari sepulangnya dari pasar sang Ibu membawa masuk barang belanjaannya ke dapur rumahnya. Di ruang tengah rumah, terlihat anaknya yang Balita tengah ditemani sepupunya menonton TV.
Sambil menghampiri si buah hati dan sepupunya tak lupa sang Ibu memberi seikat buah rambutan untuk mereka makan sambil menonton TV.

Sang Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya di ruang dapur, namun ditengah kesibukannya memasak untuk keluarganya, tiba-tiba terdengar teriakan keras minta tolong dari sepupunya. Cepat-cepat sang Ibu menghampiri sumber suara tsb. Sesampainya di ruang tengah, terlihat buah hatinya dalam keadaan sulit bernafas. Diceritakan oleh sepupunya bahwa sang Balita menelan buah rambutan sehingga sulit bernafas.

Dalam kepanikannya, sang Ibu segera saja membawa buah hatinya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan. Ditengah ketergesaan menuju rumah sakit terdekat, Sang Ibu pun segera menghubungi sang Suami sekaligus Ayah sang Balita untuk datang ke rumah sakit yang dituju.

Sesampainya sang Ayah di rumah sakit, mereka berkumpul sambil berharap harap cemas mengenai keselamatan Buah Hati mereka. Tiba-tiba muncul seorang Dokter dari ruang tindakan untuk Balita mereka. Kedatangan si Dokter telah memecahkan keheningan suasana, namun dengan wajah tertunduk dan suara datar Si Dokter mengatakan bahwa sang Balita nyawanya sudah tidak tertolong lagi dalam perjalanan menuju rumah sakit tsb.

Dengan wajah sedih sang Ibu menundukkan mukanya seraya berkata kepada Suaminya, "Semua adalah salah saya, jika saja hari ini saya tidak sibuk memasak di dapur tentunya anak kita masih hidup dan sehat.”

Sang Suami dengan wajah yang tak kalah sedihnya, memeluk sang Istri sambil berbisik, “Tidak ada yang salah dalam hal ini. Ini adalah kehendak TUHAN yang terbaik untuk buah hati kita Bu, tolong Ibu jangan lagi menyalahkan diri sendiri dan membuat kita semua semakin larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, dan bukankah Buah Hati kita telah kembali kepangkuan TUHAN?”

***

Mencermati kejadian diatas, tentu ada benarnya dengan kata-kata mutiara seperti di bawah ini;

Yang menyalahkan diri orang lain, adalah Orang Biadab

Yang menyalahkan diri sendiri, adalah Orang Biasa

Yang Tidak Menyalahkan siapapun, adalah Orang yang Bijaksana dan Luar Biasa

Cerita diatas, mengingatkan saya akan pengalaman saya. Secara umum bahwa hidup saya maupun Sahabat  semua, siapapun kita, dimanapun, dimulai sebagai Orang yang Biasa didalam perjalanannya. Jika saja Sahabat  semua mau membuka pintu Hati, lalu diterapkan dalam Tindakan maka tentu Sahabat semua akan menjadi Orang yang Bijaksana.

Namun, dalam pergeseran paradigma Integritas saat ini, yang sarat dipengaryhi lingkungan dan perubahan telah membawa Kebijaksanaan lain yang sifatnya semu, bahkan bias dan rancu, yang tentunya berbeda dengan Indonesian Emotion Quotient (IEQ) yang selalu memakai nilai- nilai Luhur
Adalah Bijaksana saat Sahabat semua mau dan mampu melihat suatu persoalan, juga dari kacamata orang lain, sambil mengerti untuk mendapat atau memberi yang terbaik, tanpa melukai siapapun, dalam penerapannya dapat dimisalkan seperti; "Silahkan ambil Ikannya, tolong jangan buat Keruh airnya".

Yang unik, dasar dari IEQ adalah, mengalirnya Kasih sayang yang tulus. Dengan Kasih sayang yang tulus, maka dengan sendirinya akan membuahkan kesamaan, bahkan dalam aspek spiritual, dikatakan bahwa semakin manusia berbagi waktu, atau apapun yang dimilikinya untuk sesama, dan bagi kemuliaan Tuhan, maka sifat-sifatnya pun akan semakin menyerupai sifat-sifat Tuhan. Nah sekarang, saatnya Sahabat kembali menggunakan IEQ milik Sahabat semua, untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan bermakna...Yuuuk

Wednesday, May 30, 2012

Hati yang ber-Prasangka

Di suatu siang, seorang janda setengah tua sedang menyiapkan kue yang akan dijual keliling desanya. Sambil merapikan barang dagangannnya, sang Ibu berpesan pada putri tunggalnya yang berusia 7 tahun. Kita sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya).

"Bunga jangan main-main keluar rumah ya. Cuaca sudah mendung gelap akan segera hujan," Ibunya berpesan.

Beberapa saat setelah selesai merapikan kue dagangan dan perlengkapannya, ketika akan pergi sang Ibu kembali memanggil Bunga namun yang dipanggil tak kunjung menjawab dan tidak muncul. Dengan menggerutu dan tergesa-gesa, sang Ibu bergegas pergi untuk menjual kue dagangannya sambil mengunci rapat pintu rumahnya dari luar.

Dalam batin sang Ibu berkata; Dasar anak nakal sudah dilarang main diluar rumah masih saja pergi. Sekali kali Bunga perlu diberi pelajaran biar jadi anak yang baik.

Benar saja, tak lama kemudian hujan deras datang. Bunga kecil yang pulang ke rumah pun jadi basah kuyup. Bunga berusaha masuk rumah, namun pintu rumah terkunci dari luar. Bunga tidak bisa masuk.
Ditengah basah kuyup dan kedinginan karena hujan deras yang mengguyur, Bunga semakin bingung untuk masuk kedalam rumahnya. Tanpa disadari Bunga, ada seekor ular berbisa yang berhasil menggigit Bunga. Dalam hitungan menit, tiba-tiba Bunga terjatuh lunglai didepan pintu masuk rumahnya.

Pada malam hari sekembalinya sang Ibu dari berjualan keliling kue sang Ibu melihat Bunga di depan pintu masuk rumahnya. Batinnya berkata; Dasar anak nakal sekarang malah tidur di depan pintu masuk.

Lagi-lagi sang Ibu memanggil Bunga, namun yang dipanggil kembali tidak menjawab. Setelah dekat, betapa kaget sang Ibu yang meliat ada bekas gigitan ular berbisa di tubuh mungil Bunga. Cepat-cepat sang Ibu membawa masuk Bunga untuk diobati sambil berkata bahwa Ibu sayang Bunga, sekarang Bunga bangun. Sang Ibu berkata dengan berulang ulang, namun Bunga tetap tidak bergerak.

Ditengah kebingungannya, sang Ibu melihat ada bungkusan yang terjatuh dari genggaman Bunga, lalu diambil dan dibuka oleh sang Ibu, ada sebungkus kecil biscuit, dan ada tulisan dikertas tersebut. Sang Ibu hafal ini adalah tulisan Bunga, putri tunggalnya, tertulis:

Hari ini, saya hanya bisa membeli biscuit kecil untuk mama, selamat ulang tahun Mama.

Seketika itu juga, pecah lah tangis sang Ibu untuk Bunga, putri tunggalnya yang tersayang... Yang telah pergi selamanya...

***

Dalam menjalani hidup banyak hal hal yang terjadi diluar perkiraan kita karena apa yang kita lihat, belum tentu seperti yang kita maksud. Contoh mudahnya kita tonton saja atraksi sulap.

Mau jadi dokter, ada sekolahnya...

Mau jadi polisi, ada juga sekolahnya...

Mau jadi orangtua, dimana sekolahnya? 

Kalau mau sekedar jadi orangtua, rasanya cukup menikah selanjutnya mempunyai anak karena tanpa belajar dan berjuang pun, tetap akan menjadi orangtua.

Tentunya akan berberbeda, ketika kita ingin menjadi orangtua yang Bijaksana dan penuh kasih untuk anak anak kita, singkatnya kita cukup buka pintu Hati lalu belajar dan lakukan Indonesian Emotion Quotient (IEQ) di Hati Kita, yang mungkin secara tidak sadar telah lama kita tinggalkan, mari kita buka kembali Hati kita yang sudah lama tertutup bakhan terkunci, dan kini saatnya untuk Sahabat berbagi IEQ bagi semua anak-anak Indonesia...

Tuesday, May 29, 2012

Arti Kasih Seorang Ibu

Suatu sore, seorang Ibu tengah terduduk di kursi rodanya di tepi danau sambil di temani Anaknya yang sudah mapan dan berkeluarga. Beberapa saat kemudian si Ibu bertanya,

"Nak, itu burung apa yang berdiri di sana?"

Si anak menjawab dengan sopan, "Bangau, ma..."

Tak lama kemudian Si Ibu bertanya lagi.

"Nak, itu yang warna putih burung apa?"

Sedikit mulai kesal Anaknya menjawab, "Ya bangau, ma!"

Kemudian ibunya kembali bertanya, "Nak, lantas itu burung apa?" Ibunya menunjuk burung bangau tadi yang sedang terbang.

Dengan nada kesal si anak menjawab, " Ya bangau, mama! Kan sama saja! Memangnya mama tidak lihat dia terbang?!"

Air menetes dari sudut mata si mama sambil berkata pelan, "Nak, dahulu 26 tahun yang lalu aku memangku kamu, dan menjawab pertanyaan yang sama untuk mu sebanyak 10 kali... Sedang saat ini aku hanya bertanya 3 kali, tapi kamu membentak ku 2 kali... "

Si anak terdiam... Lalu memeluk mamanya.

***

Pernahkah kita memikirkan apa yang telah diajarkan oleh seorang Mama kepada kita?
Sayangilah Mama/Ibu-mu dengan sungguh-sungguh, karena Surga berada di telapak kaki Ibu.
Mohon ampunan jika kamu pernah bahkan sering menyakiti hati Ibumu.
Dan teruskan kepada Orang-orang yang perlu membaca renungan ini.

Pernah kita memarahi dia?
"Pernah!"
Pernah kita cuekin dia?
"Pernah!"
Pernah kita mikir apa yang dia pikirkan?
"Nggak,"

Sebenernya apa yang dia Pikirkan?

TAKUT.

- Takut tidak bisa melihat kita senyum, nangis atau ketawa lagi.
- Takut tidak bisa mengajar kita lagi...

Semua itu karena waktu dia singkat.
Saat mama/papa menutup mata, tidak akan lagi ada yang cerewet.
Saat kita menangis memanggil-manggil dia, apa yang dia balas? Dia cuma terdiam.
Saat kita memberi dia materi, apa yang dia ambil? Dia cuma terdiam.
Tapi bayangannya dia tetap di samping kita dan berkata, "Anakku jangan menangis, mama/papa masih di sini. Mama/papa selalu sayang kamu,"

Saya tidak berbagi pengetahuan, saya hanya ingin mengajak perilaku sahabat agar sama dengan Indonesian Emotion Quotient (IEQ) milik Nenek Moyang kita kepada sahabat semua. Kita mulai dari diri kita sendiri dahulu, mulai dari hal yang paling mudah. Mulai dari sekarang, yuk! ;]

Monday, May 28, 2012

Kisah Seekor Belalang

Seekor Belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain.

Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya. Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu dan bertanya,

“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?”

Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan,
Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan”.

Saat itu si belalang baru tersadar, bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas. 

***

Terkadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama dengan pengalaman belalang ini. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita.

Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang telah mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir ulang. Benarkah Sahabat sudah separah itu?

Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri. Tidakkah Sahabat  pernah mempertanyakan kepada hati nurani bahwa Sahabat bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau Sahabat mau menyingkirkan “kotak” itu? Wahai Sahabat, Kotak itu pun bukan kotak “PANDORA”. Tidakkah Sahabat ingin membebaskan diri agar Sahabat bisa mencapai sesuatu yang selama ini Sahabat anggap diluar batas kemampuan Sahabat? Beruntung sebagai manusia, kita telah dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang sehingga Sahabat tidak boleh mudah menyerah begitu saja pada apa dialami. 

Karena itu Sahabatku, teruslah berusaha mencapai apapun yang Sahabat ingin capai. Sakit memang, juga lelah, tapi bila Sahabat sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar. Kehidupan Sahabat akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan Sahabat. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk Sahabat.

Mari Sahabat pergunakan Indonesian Emotion Quotient (IEQ) milik kita semua tuk menuju kehidupan yang lebih bahagia, bermakna dan bermartabat... Yuk!!!

Sunday, May 27, 2012

Tulus Belajar dan Berjuang Tanpa Henti

Ada seorang mandor yang sudah berusia senja dan berniat menghadap pimpinannya untuk mengajukan pengundurkan dirinya. Setelah merasa ada waktu yang tepat untuk bertemu dengan pimpinannya, terjadilah dialog;

Sang Mandor: “Selamat siang pak, boleh saya utarakan keinginan saya?”
Pimpinan: “Oh, tentu boleh, apa yang bisa saya bantu untuk kamu?”
Sang Mandor: “Saya ingin berhenti, mau pensiun dini pak.”
Pimpinan: “Kalau boleh saya tahu, memangnya ada apa? Selama ini kamu telah bekerja dengan baik dan bahkan merupakan yang terbaik diantara rekan kerjamu!”
Sang Mandor: “Tidak ada apa-apa pak. Saya telah mengabdi dengan bapak sudah puluhan tahun, rasanya sekarang adalah saatnya saya pensiun.“
Pimpinan: “Apa sudah kamu pikirkan masak-masak? Sebenarnya saya masih sangat membutuhkan kamu dalam menangani proyek-proyek sekarang maupun ke depan“
Sang Mandor: “Saya sudah mantab, pak.”
Pimpinan: “Ya sudah kalau begitu. Boleh saya minta kamu untuk membangun lagi sebuah rumah aja sebelum kamu pensiun?
Sang Mandor: Ok, pak.

Keesokan harinya, dia mulai bekerja membangun rumah yang terakhirnya. Dahulu ia selalu mengerjakannya dengan sangat teliti, sehingga membuat pimpinan maupun konsumen sangat puas dengan hasil kerjanya. Tetapi untuk kali ini cenderung cepat dan asal asalan. Ini sangat berlainan sekali dengan saat sebelum dia mengajukan pensiun.

Setelah menyelesaikan rumah tersebut, sang Mandor segera menghampiri dan sekaligus menyerahkan kunci rumah tersebut kepada pimpinannya sambil berkata bahwa, “Pak, rumahnya telah selesai dibangun dan ini kunci rumahnya”.

Pimpinannya tersenyum kepada sang Mandor dan berkata, “Untuk apa kamu menyerahkan kunci rumah tersebut kepada saya? Saya meminta kamu membangun rumah ini untuk kamu tinggal sekeluarga sebagai kenang-kenangan dari saya. Sedikit tanda terima kasih dari saya..."

Sang Mandor terkejut mendengarnya. Lebih terkejut lagi saat ia sadar bahwa rumah tersebut telah dibangunnya secara sembrono ternyata untuk keluarganya. Dengan muka yang tertunduk malu, dia berterima kasih kepada pemimpinnya.

***

Biasanya proses belajar seseorang dari KTP, yaitu Keturunan, Teladan dan Pengalaman. Kita adalah keturunan Indonesia, Teladan kita pun bernama Indonesia, dan Pengalaman dalam hidup kita saat bertemu orang lain sewajarnya hanya menambah warna menjadi warna-warni namun tetap kita punya Jati Diri Indonesia  itu sendiri, bukannya kita berubah menjadi lain.

Hidup adalah proses belajar dan berjuang tanpa henti, bukan sekedar menunggu ajal datang. Sakit Sahabat dalam perjuangan itu hanya berlangsung sementara. Bisa satu menit, satu jam, satu hari atau satu tahun. Namun, jika Sahabat menyerah maka rasa sakit itu akan terasa selama sisa hidup kita. Mari Sahabat isi kehidupan dengan Indonesian Emotion Quotient (IEQ) lalu kita nyatakan dalam tindakan.

Saturday, May 26, 2012

Kothbah dan Ayam Jago

Suatu hari di rumah ibadah, seorang pemimpin umat sedang ber-kothbah dihadapan ratusan umatnya. Ditengah kothbahnya, dia berkata dengan keras,

"Wahai saudara saudara ku sekalian yang terkasih... Jika kita ingin memberi kepada sesama hendaknya kita memberikannya yang terbaik. Semua milik kita pun sebenarnya adalah milik Tuhan, kita cuma dititipkan saja,"

Beberapa saat kemudian tausiah selesai. Pemimpin umat ini dikerumuni umatnya. Disela-sela kesibukannya, ada anaknya yang hari itu ikut mendengarkan kothbah ayahnya. Senang sekali si anak mendengarkannya, namun si anak ingat bahwa ia berjanji bertemu dengan teman yang dari luar kota. Dengan segera si anak berpamit pada ayahnya.

Benar saja, belum lama ia tiba dirumahnya ternyata teman dari luar kotanya sudah tiba. Mereka ngobrol-ngobrol. Di tengah asyik mencicipi snack dan softdrink, sang teman menanyakan,

"Itu ayam jago siapa? Bagus tuh,"

Si anak bertanya,

"Emangnya kamu mau ayam jago itu?"

Dengan senang sang teman menjawab,

"Ya maulah,"

Dijawab lagi oleh si anak,

"Ya udah, ambil aja,"

Beberapa saat kemudian, sang teman berpamitan pulang. Sekembalinya dari rumah ibadah, si ayah menanyakan pada anaknya apakah tadi meliat ayam jagonya. Si anak menjawab bahwa barusan ayam jago tersebut telah diberikan pada temannya karena temannya menginginkannya.

Tiba-tiba tangan si ayah mendarat dengan keras dipipi si anak. Si anak bertanya,

"Bukankah ayah tadi ber-kothbah bahwa jika kita memberi harus yang terbaik? Semua milik Tuhan, kita pun hanya dititipkan!"

Namun dengan wajah yang tetap sangar si ayah berteriak,

"Bodoh kamu! Itu cuma kotbah! Hanya untuk kita katakan, bukan kita lakukan!"

Si anak menangis dan berlalu. Konon, sejak itu ia tidak mau mendengar kotbah ayahnya lagi.

***

Renungan kita:

Orang yang munafik bicaranya santun, lembut, tampilannya begitu JUJUR, baik, dan bersih seolah- olah sungguh-sungguh tanpa cacat dan dosa. Mereka biasanya pandai memutar balik kalam dan fakta. Contohnya berbicara suka menyumbang untuk rumah yatim piatu, padahal itu hanya bicara saja karena mereka hanya  "talk the talk" dan sulit menemukan cacat celanya mereka. Pada umumnya mereka yang munafik, sungguh lihai menebar jerat yang mencelakakan orang lain. Namun mereka terlihat arif dan santun serta bijaksana.

Mereka yang hitam pun namun tampaknya putih cemerlang, tentu saja sangat mengecoh dan menipu kita semua. Hal ini jauh lebih berbahaya karena ini pun mudah menular sekaligus menyebar dengan cepat, mempengaruhi bahkan menebar bahaya yang tidak terlihat tapi berakibat sangat fatal.

Ini seperti virus yang berbahaya, tidak terdeteksi, sulit terlihat sehingga obatnya pun susah ditemukan. Biasanya, begitu korban terlepas dari musuhnya, langsung tertipu SEKUTUNYA (yang tampilannya baik).
Mereka menutupi kesadaran orang dengan pikiran gelap dan nafsu sesat di jalan yang terang sehingga yang kita tonton adalah Pertunjukan Sandiwara mereka bukan Realita.

Hanya Indonesian Emotion Quotient (IEQ) sebagai Anti Virus yang bisa membawa Kesadaran Sahabat semakin manusiawi dari waktu ke waktu karena IEQ mampu  membuka pintu Hati dan Pikiran Sahabat yang tertutup atau bahkan terkunci. Baik ya!

Cerita Seorang Ibu Tentang Anak-Anaknya

Alkisah, beberapa tahun yang silam seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.

"Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?" tanya si pemuda.

"Oh… Saya mau ke Jakarta terus 'connecting flight' ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2", jawab ibu itu.

"Wow, hebat sekali putra ibu," pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.

"Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya, bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?"

"Oh ya tentu, "si Ibu mulai bercerita, "Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang."

Pemuda tadi diam. Hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik. Dari anak ke-2 sampai ke-7.

"Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?"

Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, "Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak, "Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar."

Pemuda itu segera menyahut,

"Maaf ya Bu... Kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani,"

Dengan tersenyum ibu itu menjawab,

"Ooo, tidak, tidak begitu nak... Justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani."

***

Pelajaran Hari Ini: Semua orang di dunia ini penting. Buka pikiranmu dan perasaanmu. Intinya adalah kita tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita membaca buku itu sampai selesai. Pesan IEQ bahwa; "Hal yang paling penting adalah bukanlah SIAPAKAH KAMU akan tetapi APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN."

Friday, May 25, 2012

Renungan: Sebuah Kisah Nyata, Yu Yuan Gadis Kecil Berhati Malaikat

Kisah ini terjadi pada tahun 2005 seorang gadis kecil di China yang menderita penyakit leukemia ganas, tetapi mempunyai hati bak seorang malaikat. Setelah mengetahui penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi, dia rela melepaskan semuanya dan menyumbangkan untuk anak-anak lain yang masih punya harapan serta masa depan.

Sebuah kisah nyata tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kalimat terakhir yang ia tinggalkan di batu nisannya adalah “Saya pernah datang dan saya sangat penurut”.

Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dia membagi dana tersebut menjadi tujuh, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan, kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya.

Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 Imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput. Disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis; 20 November jam 12. Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, “Saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan”. Kemudian, papanya memberikan dia nama Yu Yuan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh.

Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa. Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah. Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya. Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.

Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengeluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.

Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya.

Dengan berbagai cara meminjam uang ke sanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli. Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus, dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. “Papa saya ingin mati”. Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, “Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati?”. “Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini.”

Pada tanggal 18 Juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri.

Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: “Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini”.

Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar.

Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.

Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu negara bahkan sampai ke seluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang. Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi.

Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang. Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan, tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.

Ada seorang teman di-email bahkan menulis: Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta.

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya.

Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu Yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu.

Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perempuannya, air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung. Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, “Anak yang baik”. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali.

Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.

Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 Agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: “Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya?" tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, "Karena mereka semua adalah orang yang baik hati”. Yu Yuan kemudian berkata : “Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati”. Wartawan itupun menjawab, “Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik”. Yu Yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. “Tante ini adalah surat wasiat saya.”

Fu Yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.

Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong.... dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang-orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. “Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh”.

Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya. "Saya pernah datang, saya sangat patuh", demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan.

Pada tanggal 22 Agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang.

Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain. Di kecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumpuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan “Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah……………” demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa-mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Di depan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, “Aku pernah datang dan aku sangat patuh” (30 Nov 1996- 22 Agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu.

Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian. Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. “Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan, kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata “Aku pernah datang dan aku sangat patuh”.

"Aku pernah datang, dan aku sangat patuh." - Yu Yuan.

Penghukuman Bukan Pembalasan Dendam


Dikisahkan sepasang suami istri yang bekerja meninggalkan anaknya yang berusia 4 tahun, sebut saja Elsy, bersama pembantu di rumah. Namanya juga anak-anak, suka sekali bereksplorasi diri.

Elsy pun demikian. Dia sibuk bermain, mencorat-coret tanah dengan lidi, sementara pembantunya menjemur pakaian dekat garasi. Belum puas mencoret tanah dengan lidi, Elsy menemukan sebuah paku berkarat dan kemudian mulailah dia mencoba untuk mencorat-coret. Kali ini di pintu mobil baru milik ayahnya. Karena masih baru, mobil tersebut jarang digunakan oleh ayahnya untuk ke kantor. Seketika itu, penuhlah coretan Elsy di pintu mobil tersebut.

Begitu ayahnya pulang dari kantor, dengan bangga Elsy memberitahu tentang gambar-gambar yang dibuatnya hari itu termasuk di pintu mobil ayahnya yang masih baru pula. Bukannya pujian yang diterimanya, melainkan kemarahan ayahnya yang sangat besar.

Pertama kali yang kena kemarahan adalah pembantu karena dianggap tidak becus mengawasi Elsy dengan baik di rumahnya. Selanjutnya, giliran Elsy yang dihukum. Demi mendisiplinkan anaknya, tidak cukup dengan kata-kata, si ayah mulai mengajar dengan pukulan-pukulan. Dipukulilah kedua telapak dan punggung tangan Elsy dengan benda apa aja yang ditemukan si ayah. Apakah itu kayu, penggaris, benda keras lainnya yang disertai luapan emosi yang tak terkendali.

"Ampun ayah! Sakit... sakit... ampun ayah!!!" jerit Elsy sambil menahan sakit ditangannnya yang mulai berdarah darah. Si ibu pun hanya diam saja menyaksikan penyiksaan tersebut, seolah-olah merestui pula tindakan disiplin yang ditegakkan si suami.

Setelah puas menghajar Elsy, si ayah menyuruh pembantunya untuk membawa Elsy ke kamarnya. Dengan hati yang teriris, sang pembantu membawa Elsy ke kamarnya.

Sore hari ketika memandikan Elsy, terlihat Elsy menahan pedih ditangannnya. Esok pagi, tangan Elsy mulai membengkak sementara si ayah dan ibu tetap bekerja seperti biasanya. Ketika sang pembantu melaporkan kondisi Elsy yang deman, si ibu hanya berkata, "Oleskan obat aja".

Hari berganti hari, suhu tubuh Elsy mulai demam karena luka tangannya mulai terinfeksi. Ketika sang pembantu melaporkan kembali, lagi lagi si ibu berkata, "Berikan obat penurun panas".

Namun malang, pada malam hari, Elsy mengalami demam yang semakin tinggi bahkan disertai halusinasi. Barulah orangtua Elsy buru-buru setelah kondisi Elsy yang semakin melemah membawanya kerumah sakit terdekat, pada malam itu juga.

Hasil dianogsis Dokter menyimpulkan bahwa demam Elsy berasal dari luka ditangannya yang terinfeksi dan telah membusuk.

Dokter mengusulkan agar kedua tangan Elsy untuk segera di amputasi demi menyelamatkan nyawa Elsy karena infeksi yang terjadi sudah terlalu parah. Tidak ada pilihan lain selain cara itu.

Mendengar semua berita ini, kedua orangtua Elsy bagai disambar petir. Dengan air mata yang berurai dan tangan yang sangat gemetar, mereka terpaksa menanda tangani surat persetujuan amputasi untuk Elsy, buah hati mereka.

Setelah siuman dari pembiusan operasinya, Elsy terbangun sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya yang telah diamputasi. Lebih bingung lagi, Elsy melihat kedua orang tuanya dan pembantunya, menangis disampingnya. Sambil ikut menangis karena rasa sakit, Elsy berkata,

"Ayah.. Ibu.. Elsy tidak akan melakukannya lagi. Elsy sayang ayah, sayang Ibu, juga sayang bibi. Elsy mohon ampun sudah mencoret coret mobil ayah," si Ayah dan Ibu semakin sedih dan pilu mendengar kata kata Elsy tersebut.

"Ayah, sekarang tolong kembalikan tangan Elsy, untuk apa diambil. Elsy janji, tidak akan mencoret coret mobil ayah lagi. Bagaimana kalau Elsy mau main-main dengan teman? Ayah.. Ibu.. tolong kembalikan, Elsy mau pinjam sebentar aja. Elsy mau menyalami AYAH dan IBU untuk mohon maaf..."

Menyesal bagi kedua orangtua Elsy, sudah tiada guna, sudah terlambat...

***

Seringkali orang menjatuhkan hukuman atas nama penegakan disiplin, namun seringkali pula penghukuman tersebut bermuatan Kemarahan atas kelalaian dirinya yang ditumpahkan kepada orang lain. Bahkan bermuatan pembalasan dendam sehingga semakin jauh dari niat penghukuman yang ingin menyadarkan pelaku.

Kenyataan lain, banyak orang dengan bangga memberi hukuman di depan orang banyak. Istilahnya gigi bayar gigi, mata bayar mata. Masalahnya ternyata hukuman yang keras, tidak menjawab persoalan dan tidak membuat orang lain menjadi jerah.

Pemberian hukuman apapun, seyogyanya tidak mengamputasi pribadi orang karena yang kita koreksi adalah PERILAKU buruknya.

Sekarang, saatnya Indonesia Emotion Quotient (IEQ), dilakukan para Sahabat tanpa merugikan siapapun sebelum terlambat. Yuk!

Wednesday, May 23, 2012

Jangan Menangis Lagi Ibuku

Apakah Sahabat sudah mengasihi Ibunda Sahabat? Apakah Sahabat  masih ingat betapa besar kasih sayang Ibunda? Bacalah artikel ini! Kasih seorang Ibu.

Jalannya sudah tertatih-tatih karena usianya sudah lebih dari 70 tahun sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal dirumah jompo, hanya karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringatkah oleh kita semua ketika itu betapa berat penderitaan Ibunda saat akan melahirkan putrinya?

Ayah dari anak tsb minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya.
Disamping itu, keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yg belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yg hamil sebelum nikah. Tetapi ia tetap mempertahakannya, dan oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.

Selain aib yg harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yg mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telah melahirkan “seorang bayi haram tanpa ayah”.

Walaupun demikian, ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan, dimana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love (Kasih). Siang ia harus bekerja berat di pabrik, dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan satu-satunya penghasilan tambahan yg ia bisa dapatkan.

Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu-Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yg tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, disamping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya. Uang untuk daging yang seharusnya ia bisa beli untuk dirinya, namun ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang. Tetapi untuk putrinya yg tercinta, adalah yang terbaik, dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca diluaran sangat dingin sekali karena pada saat itu lagi musim  hujan menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yg telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin dan hujan deras sekali, bahkan ia sendiri dalam keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja.

Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya, dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya, walaupun untuk ini ia harus berkorban, jadi dalam keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja. Selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yg tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya, akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya di luar kota. Disana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya, dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yg bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak di undang, bahkan kehadirannya tidaklah di inginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi, dan memberkati putrinya yg tercinta. Sejak saat itu bertahun tahun, ia tidak mendengar kabar dari putrinya karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu.

Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk, dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya. Karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya. Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima, dan diperbolehkan bekerja di sana. Dirumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya. Tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai bibi pembantu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus. Bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Disamping itu sering sekali di bentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dalam kamarnya yang kecil dibelakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya di rumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini, sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo. Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pensiun yang ia dapatkan selalu ia sisihkan, dan tabung untuk putrinya dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi. Tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Disamping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Di luar udara sangat buruk, selain hujan deras, angin pun berhembus dengan kencangnya. Tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dgn putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus ber-jam2 diluaran. Ia harus dua kali ganti bus karena jarak rumah jompo tempat dimana ia tinggal, letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh, dan tidak mudah bagi seorang nenek setua dirinya, apalagi ia berada dalam keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya, dalam keadaan lelah dan menggigil ia mengetuk rumah putrinya, dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong dimana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia di tegor,

"Kamu sudah bekerja dirumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus yaitu pintu dibelakang rumah?!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena diluaran dingin sekali, dan sedang hujan badai. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!"

"Maaf saya tidak ada waktu, disamping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat, tinggi jadi lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!"

Setelah itu pintu di tutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis. Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih belas kesianpun tidak ada.
Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya,

"Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi? Sebab di depan rumah anda ada seorang nenek  meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

***

Renungkanlah!

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dalam setahun.

Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari, bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa, dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita, hanya pada waktu hari Ibu saja, sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya.

Boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu. Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita, apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah.

Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu?
Kapan kita terakhir mengundang Ibu?
Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan?
Kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita?
Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?

Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.

Apabila Sahabat masih mengasihi Ibunda Sahabat, sadarlah bahwa selama Ibunda masih hidup, berikanlah bakti dan kasih Sahabat dengan sepenuh Hati kepada Ibunda Sahabat yang terkasih sebelum terlambat.