Apakah Sahabat sudah mengasihi Ibunda Sahabat? Apakah Sahabat masih ingat betapa besar kasih sayang Ibunda? Bacalah artikel ini! Kasih seorang Ibu.
Jalannya sudah tertatih-tatih karena usianya sudah lebih dari 70 tahun sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal dirumah jompo, hanya karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringatkah oleh kita semua ketika itu betapa berat penderitaan Ibunda saat akan melahirkan putrinya?
Ayah dari anak tsb minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya.
Disamping itu, keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yg belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yg hamil sebelum nikah. Tetapi ia tetap mempertahakannya, dan oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.
Selain aib yg harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yg mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telah melahirkan “seorang bayi haram tanpa ayah”.
Walaupun demikian, ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan, dimana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love (Kasih). Siang ia harus bekerja berat di pabrik, dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan satu-satunya penghasilan tambahan yg ia bisa dapatkan.
Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu-Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yg tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, disamping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya. Uang untuk daging yang seharusnya ia bisa beli untuk dirinya, namun ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang. Tetapi untuk putrinya yg tercinta, adalah yang terbaik, dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai makanan.
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca diluaran sangat dingin sekali karena pada saat itu lagi musim hujan menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yg telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin dan hujan deras sekali, bahkan ia sendiri dalam keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja.
Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya, dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya, walaupun untuk ini ia harus berkorban, jadi dalam keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja. Selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yg tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya, akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya di luar kota. Disana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya, dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yg bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak di undang, bahkan kehadirannya tidaklah di inginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi, dan memberkati putrinya yg tercinta. Sejak saat itu bertahun tahun, ia tidak mendengar kabar dari putrinya karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu.
Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk, dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya. Karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya. Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima, dan diperbolehkan bekerja di sana. Dirumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya. Tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai bibi pembantu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus. Bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Disamping itu sering sekali di bentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dalam kamarnya yang kecil dibelakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya di rumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini, sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo. Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pensiun yang ia dapatkan selalu ia sisihkan, dan tabung untuk putrinya dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi. Tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Disamping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Di luar udara sangat buruk, selain hujan deras, angin pun berhembus dengan kencangnya. Tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dgn putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus ber-jam2 diluaran. Ia harus dua kali ganti bus karena jarak rumah jompo tempat dimana ia tinggal, letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh, dan tidak mudah bagi seorang nenek setua dirinya, apalagi ia berada dalam keadaan sakit.
Setiba di rumah putrinya, dalam keadaan lelah dan menggigil ia mengetuk rumah putrinya, dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong dimana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia di tegor,
"Kamu sudah bekerja dirumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus yaitu pintu dibelakang rumah?!"
"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena diluaran dingin sekali, dan sedang hujan badai. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!"
"Maaf saya tidak ada waktu, disamping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat, tinggi jadi lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!"
Setelah itu pintu di tutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis. Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih belas kesianpun tidak ada.
Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya,
"Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi? Sebab di depan rumah anda ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"
***
Renungkanlah!
Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dalam setahun.
Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari, bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa, dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita, hanya pada waktu hari Ibu saja, sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya.
Boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu. Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita, apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah.
Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu?
Kapan kita terakhir mengundang Ibu?
Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan?
Kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita?
Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
Apabila Sahabat masih mengasihi Ibunda Sahabat, sadarlah bahwa selama Ibunda masih hidup, berikanlah bakti dan kasih Sahabat dengan sepenuh Hati kepada Ibunda Sahabat yang terkasih sebelum terlambat.
No comments:
Post a Comment