Dikisahkan sepasang suami istri yang bekerja meninggalkan anaknya yang berusia 4 tahun, sebut saja Elsy, bersama pembantu di rumah. Namanya juga anak-anak, suka sekali bereksplorasi diri.
Elsy pun demikian. Dia sibuk bermain, mencorat-coret tanah dengan lidi, sementara pembantunya menjemur pakaian dekat garasi. Belum puas mencoret tanah dengan lidi, Elsy menemukan sebuah paku berkarat dan kemudian mulailah dia mencoba untuk mencorat-coret. Kali ini di pintu mobil baru milik ayahnya. Karena masih baru, mobil tersebut jarang digunakan oleh ayahnya untuk ke kantor. Seketika itu, penuhlah coretan Elsy di pintu mobil tersebut.
Begitu ayahnya pulang dari kantor, dengan bangga Elsy memberitahu tentang gambar-gambar yang dibuatnya hari itu termasuk di pintu mobil ayahnya yang masih baru pula. Bukannya pujian yang diterimanya, melainkan kemarahan ayahnya yang sangat besar.
Pertama kali yang kena kemarahan adalah pembantu karena dianggap tidak becus mengawasi Elsy dengan baik di rumahnya. Selanjutnya, giliran Elsy yang dihukum. Demi mendisiplinkan anaknya, tidak cukup dengan kata-kata, si ayah mulai mengajar dengan pukulan-pukulan. Dipukulilah kedua telapak dan punggung tangan Elsy dengan benda apa aja yang ditemukan si ayah. Apakah itu kayu, penggaris, benda keras lainnya yang disertai luapan emosi yang tak terkendali.
"Ampun ayah! Sakit... sakit... ampun ayah!!!" jerit Elsy sambil menahan sakit ditangannnya yang mulai berdarah darah. Si ibu pun hanya diam saja menyaksikan penyiksaan tersebut, seolah-olah merestui pula tindakan disiplin yang ditegakkan si suami.
Setelah puas menghajar Elsy, si ayah menyuruh pembantunya untuk membawa Elsy ke kamarnya. Dengan hati yang teriris, sang pembantu membawa Elsy ke kamarnya.
Sore hari ketika memandikan Elsy, terlihat Elsy menahan pedih ditangannnya. Esok pagi, tangan Elsy mulai membengkak sementara si ayah dan ibu tetap bekerja seperti biasanya. Ketika sang pembantu melaporkan kondisi Elsy yang deman, si ibu hanya berkata, "Oleskan obat aja".
Hari berganti hari, suhu tubuh Elsy mulai demam karena luka tangannya mulai terinfeksi. Ketika sang pembantu melaporkan kembali, lagi lagi si ibu berkata, "Berikan obat penurun panas".
Namun malang, pada malam hari, Elsy mengalami demam yang semakin tinggi bahkan disertai halusinasi. Barulah orangtua Elsy buru-buru setelah kondisi Elsy yang semakin melemah membawanya kerumah sakit terdekat, pada malam itu juga.
Hasil dianogsis Dokter menyimpulkan bahwa demam Elsy berasal dari luka ditangannya yang terinfeksi dan telah membusuk.
Dokter mengusulkan agar kedua tangan Elsy untuk segera di amputasi demi menyelamatkan nyawa Elsy karena infeksi yang terjadi sudah terlalu parah. Tidak ada pilihan lain selain cara itu.
Mendengar semua berita ini, kedua orangtua Elsy bagai disambar petir. Dengan air mata yang berurai dan tangan yang sangat gemetar, mereka terpaksa menanda tangani surat persetujuan amputasi untuk Elsy, buah hati mereka.
Setelah siuman dari pembiusan operasinya, Elsy terbangun sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya yang telah diamputasi. Lebih bingung lagi, Elsy melihat kedua orang tuanya dan pembantunya, menangis disampingnya. Sambil ikut menangis karena rasa sakit, Elsy berkata,
"Ayah.. Ibu.. Elsy tidak akan melakukannya lagi. Elsy sayang ayah, sayang Ibu, juga sayang bibi. Elsy mohon ampun sudah mencoret coret mobil ayah," si Ayah dan Ibu semakin sedih dan pilu mendengar kata kata Elsy tersebut.
"Ayah, sekarang tolong kembalikan tangan Elsy, untuk apa diambil. Elsy janji, tidak akan mencoret coret mobil ayah lagi. Bagaimana kalau Elsy mau main-main dengan teman? Ayah.. Ibu.. tolong kembalikan, Elsy mau pinjam sebentar aja. Elsy mau menyalami AYAH dan IBU untuk mohon maaf..."
Menyesal bagi kedua orangtua Elsy, sudah tiada guna, sudah terlambat...
***
Seringkali orang menjatuhkan hukuman atas nama penegakan disiplin, namun seringkali pula penghukuman tersebut bermuatan Kemarahan atas kelalaian dirinya yang ditumpahkan kepada orang lain. Bahkan bermuatan pembalasan dendam sehingga semakin jauh dari niat penghukuman yang ingin menyadarkan pelaku.
Kenyataan lain, banyak orang dengan bangga memberi hukuman di depan orang banyak. Istilahnya gigi bayar gigi, mata bayar mata. Masalahnya ternyata hukuman yang keras, tidak menjawab persoalan dan tidak membuat orang lain menjadi jerah.
Pemberian hukuman apapun, seyogyanya tidak mengamputasi pribadi orang karena yang kita koreksi adalah PERILAKU buruknya.
Sekarang, saatnya Indonesia Emotion Quotient (IEQ), dilakukan para Sahabat tanpa merugikan siapapun sebelum terlambat. Yuk!
No comments:
Post a Comment