Cerita ini bermula di dalam gerbong sebuah kereta api, seorang pemuda yang berpenampilan biasa saja, usianya sekitar 21 tahun, duduk di sebuah kursi sambil membaca sebuah novel yang lumayan tebal. Saat sedang membaca ia mencoba mengingat-ingat apa yang belum dilakukannya, sejenak si pemuda tersebut melirik kesebelahnya, ternyata ada seorang Bapak yang wajahnya sedikit menyeramkan karena memiliki kumis yang tebal
namun jenggot panjang yang memutih. Usia Bapak tersebut sekitar 50-an tahun, si pemuda akhirnya bisa ingat apa yang ia inginkan lakukan, ia melihat si Bapak mengenakan arloji di tangannya.
Dengan sedikit ragu sembari memotivasi dirinya untuk memberanikan bertanya kepada si Bapak tersebut, mencoba berdehem dan menutup bukunya sambil membatasinya dengan jari telunjuk pada halaman yang dia baca, kemudian memindahkan novel tersebut ketangan kiri. Ia mulai bertanya kesebelah kanan dimana si Bapak tersebut duduk,“Pak, Jam berapa ya sekarang ?”, tanya si pemuda, tetapi si Bapak tetap diam tidak bersuara.
Mengira volume suaranya kurang besar dan mencoba memanggil ulang, “Pak, jam berapa sekarang?”, dengan volume suara si pemuda mencapai 40 persen, ternyata tetap tidak berpengaruh sedikitpun terhadap si Bapak, karena ia tetap diam tanpa respon sedikitpun.
Kali ini di dalam benak si pemuda Bapak tersebut tengah melamun, pemuda itu lagi-lagi mengulangi panggilannya, “Paaak, jam berapa ya?”, kali ini menambah volume suaranya hingga 70 persen, namun tidak juga ada perubahan, si Bapak diam tidak bergeming sedikitpun, membuat si pemuda bingung.
Merasa kesal seolah pura-pura tidak didengarkan , si pemuda akhirnya nekat mencolek siku tangan bapak itu dengan berkata “Saya heran, mengapa bapak tidak jawab pertanyaan saya ? Apa sih susahnya cuma tanya jam berapa doang?”, ujar si pemuda ketus (dalam hatinya: kupingnya bloon ya...)
Niat hati ingin menambah lagi “kata-kata mutiara” kepada si Bapak, namun belum habis si pemuda berceloteh, si Bapak tersebut mulai kesal juga, “hei nak, saya itu bukannya gak mau jawab, tapi nanti kalau saya jawab , pasti bakal panjang urusannya, yang inilah itulah, apalah, iseng-isenglah, salah kirimlah, tinggal dimanalah, family atau bukanlah, terus nanti saya dan kamu jadi akrab nak, itu yang saya tidak mau”, sambil menatap mata sipemuda tajam, kemudian kembali cuek merasa tak bersalah.
Si pemuda hanya bisa diam tak berdaya, heran, kesal dan malu menyatu dalam dirinya mendengar kata-kata si bapak yang diluar prediksinya, si pemuda melanjutkan pertanyaannya dengan wajah heran, “Lalu apa ada yang salah kalau kita akrab pak? ada yang aneh? Malah lebih bagus bukan?”
Si bapak langsung menjawab pertanyaan si pemuda itu, “gini ya nak, Nanti anak gadis dan istri saya akan menjemput saya di stasiun A, kalau kita sudah akrab bisa panjang, kita bakal turun sama-sama, terus saya pasti harus memperkenalkan mereka berdua sama kamu. Nah, istri saya tuh tipe orang yang mudah baik sekali sama semua orang, pasti nanti dia pasti menawarkan kamu mampir ke rumah, nanti kamu disuruh mandi di rumah saya, terus makan di rumah saya, kemudian kamu lama-lama bisa akrab dengan anak gadis saya, dan kamu bisa jadi pacar anak saya, lama-lama kelamaan kamu bakal jadi menantu saya.”, teriaknya dengan keras.
Si pemuda merasa tersinggung dan masih dalam keadaan bingung, tadinya sudah dibuat bingung, sekarang ia makin tambah bingung lagi. Tanpa berfikir panjang lantas pemuda itu bertanya kepada si Bapak, “lha, Terus apa hubungannya dengan pertanyaan saya semula ?”, ujarnya penuh kekesalan dan berniat membuat si Bapak terdiam, “skak mat”, dalam hatinya.
Kali ini si Bapak sudah merasa sangat tidak tahan lagi dan sangat merasa kesal sekali mendengar pertanyaan tersebut, Ia berdiri dan memiringkan posisinya sambil menatap tajam si pemuda yang masih terduduk, si Bapak berkata, “Masalahnya anak muda, saya tidak mau punya menantu seperti kamu, gimana anak saya bisa bahagia ? wong jam aja kamu gak punya “, tegasnya sambil membawa tas dan mencari kursi lain yang tidak ditempati.
Sementara si pemuda tetap duduk diam beberapa saat tak bergeming, semakin keheranan dan kesal akibat ulah si Bapak. Lalu sipemuda menutup novelnya dan memasukkanya kedalam tas yang ia bawa karena merasa sudah kehilangan semangat untuk melanjutkan bacaannya, dalam hati ia berkata, “Edan, belum jadi Mertua aja, uda hitungan seperti ini ? By the way, moga-moga lo dapat Mantu 18M, Madep Mantab Mangan Melu Morotuwo, Morotuwo Mulyo Melu Mukti, Morotuwo Mati Melu Marisi, Morotuwo Macem-Macem Mantune MINGGAT....”
No comments:
Post a Comment