If you get serious, you get stupid. Laughter is the close distance between two person.

Sunday, June 10, 2012

Keputusan Hakim


Kasus Nenek yang Curi Singkong (kisah nyata).


Kisahnya, kasus di tahun 2011 lalu di Kabupaten Prabumulih, Lampung. Di ruang sidang pengadilan, Hakim Marzuki duduk tercenung melihat Nenek renta yang terseret hukum sambil menyimak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) panjang kali lebar terhadap seorang nenek  yang duduk sebagai terdakwa dengan dakwaan yang didakwakan sebagai  pencuri singkong. Beberapa saat setelah sidang berjalan, Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar. Namun, seorang manajer PT “X” (bukan PT sebenarnya) tetap dan kekeh pada tuntutannya agar menjadi hal ini menjadi contoh bagi warga lainnya.


Hakim Marzuki menghela nafas panjang dan dia memutus di luar tuntutan Jaksa Penuntut Umum,


"Maafkan saya," katanya sambil memandang nenek itu. "Saya tak dapat membuat pengecualian hukum. Hukum tetap hukum. Jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda Rp. 1 juta dan jika Anda tidak mampu bayar, maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum."


Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Sementara itu, segera saja Hakim Marzuki mencopot topi toganya, lalu membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp. 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada hadirin.


"Saya atas nama pengadilan juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp50 ribu sebab menetap di kota ini yang membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya. Saudara Panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa," kata Hakim Marzuki.


Akhirnya sampai palu diketuk dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itu pun pergi meninggalkan ruang sidang dengan mengantongi uang Rp3,5 juta, termasuk uang Rp50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT “X” yang tersipu malu karena telah menolak untuk membatalkan tuntutannya tersebut.

***

Sekarang mari kita bandingkan dengan kisah mirip berikut yang terjadi di New York pada tahun 1930-an.


Cerita ini terjadi di kota New York pada pertengahan 1930-an ketika AS mengalami depresi ekonomi. Saat itu, hari amat dingin. Di seluruh penjuru kota, orang-orang miskin nyaris kelaparan.


Di suatu ruang sidang pengadilan, seorang hakim duduk menyimak tuntutan terhadap seorang wanita yang dituduh mencuri sepotong roti. Wanita itu berdalih bahwa anak perempuannya sakit, cucunya kelaparan, dan karena suaminya telah meninggalkan dirinya.


Tetap saja penjaga toko yang rotinya dicuri menolak untuk membatalkan tuntutan. Ia memaksa bahwa wanita itu harus dihukum untuk menjadi contoh bagi yang lainnya.


Hakim itu menghela nafasnya. Sebenarnya ia enggan menghakimi wanita ini. Tetapi, ia tidak punya pilihan lain. 


"Maafkan saya," katanya sambil memandang wanita itu. "Saya tidak bisa membuat pengecualian. Hukum adalah hukum, jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda kamu 10 dolar, dan jika kamu tidak mampu membayarnya, maka kamu harus masuk penjara sepuluh hari."


Wanita itu tertunduk, hatinya remuk. Tanpa disadarinya, sang hakim mencopot topinya, mengambil uang sepuluh dolar dari dompetnya, dan meletakkan uang itu dalam topinya.
Ia berkata kepada hadirin,


"Saya juga mendenda masing-masing orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 sen, karena tinggal dan hidup di kota ini dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk menyelamatkan cucunya dari kelaparan. Tuan Bailiff, tolong kumpulkan dendanya dalam topi ini lalu berikan kepada terdakwa."


Akhir cerita, wanita itu meninggalkan ruang sidang sambil mengantongi 47 dolar dan 50 sen, termasuk di dalamnya 50 sen yang dibayarkan oleh penjaga toko yang malu karena telah menuntutnya. Tepuk tangan meriah dari kumpulan penjahat kecil, polisi New York, dan staf pengadilan yang berada dalam ruangan sidang mengiringi kepergian wanita itudengan haru.

***

Renungan Sahabat: rasanya tidak ada seorang pun yang mau hidupnya menjadi miskin, bodoh, sakit, susah atau yang buruk lainnya. Hal ini masih diperparah lagi dengan adanya pembiaran dan penelantaran yang terpaksa yang harus diterima dan dialaminya. Menghadapi semua ini secara beruntun atau berantai, tentunya belum tentu semua orang kuat menahan derita.

Saya jadi ingat dengan pesan Mahatma Gandhi,

”...yang lemah tidak dapat memaafkan. Memaafkan adalah tanda dari mereka kuat. Jika kita terus menerus mempraktekan mata ganti dengan mata, dan gigi ganti dengan gigi maka akhirnya kita akan menghuni dunia yang dipenuhi dengan mereka yang Buta dan Ompong..” 

Disinilah dibutuhkan kemampuan Sahabat untuk ber-Empati seperti hakim-hakim diatas terhadap sesama dalam situasi yang renta sekaligus rentan seperti sekarang ini. Pokrol bambu dan menghukum sekeras apapun belum tentu menyelesaikan permasalahan, bahkan hanya menambah persoalan menjadi semakin panjang dan kusut, ada baiknya kita memakai kacamata IEQ untuk menemukan akar permasalahan sekaligus menemukan solusi dan antisipasi.

Dengan kacamata IEQ, nantinya kita lebih bertanya dan menggunakan Hati kita secara optimal. Akhirnya kita boleh benci dengan dosanya, namun cintailah pendosanya..sesungguhnya yang kita tolak adalah prilaku buruknya bukan pribadinya..

Sampailah kita pada kesimpulan bahwa jika menghukum dengan kebencian maka sama saja dengan makan tanpa mengunyah... so enjoy your life with Love...

No comments:

Post a Comment